Lingkungan yang bersih merupakan dambaan hidup bagi setiap orang. Penumbuhan pemahaman untuk menjaga dan mengelolanya butuh proses yang tidak instan. Semua kalangan bisa mengambil peran untuk melakukannya. Termasuk sekolah, yang mampu memberikan arah kepada setiap generasi sejak dini untuk terus peduli terhadap lingkungan.
Sebagaimana pengertian yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 yaitu, pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangandan penanganan sampah.
Direktur Jenderal Pengelolaan sampah, Limbah dan B3 (PSLB3), Rosa Vivien Ratnawati, pada saat Refleksi Akhir Tahun Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) di Jakarta (29/12/2022) pernah mengungkapkan bahwa angka timbulan sampah didasarkan kepada asumsi dalam sehari, rata-rata satu orang menghasilkan sampah sebesar 0,7 kg.
Timbulan sampah adalah volume atau berat sampah yang dihasilkan dari sumber sampah pada wilayah tertentu per-satuan waktu. Timbulan sampah yang tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan permasalahan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, bahkan mampu menjadi mesin pembunuh yang bisa merenggut nyawa.
Data inputan capaian kinerja pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga yang dilakukan oleh 303 kabupaten/kota se-indonesia pada tahun 2024 di Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup, hampir menyentuh 33 juta ton timbunan sampah/tahun.
Menurut Undang-undangNomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, sampah didefinisikan sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau proses alam yang berbentuk padat. Sampah yang dikelola berdasarkan undang-undang tersebut, terdiri atas sampah rumah tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik.
Sampah organik mampu menghasilkan cairan leachate atau Air Lindi yang berbahaya. Lindi adalah cairan yang timbulakibat masuknya air eksternal ke dalam timbunan sampah, melarutkan, dan membilas materi-materi terlarut, termasukmateri organik hasil proses dekomposisi secara biologi (PermenLHK Nomor P.59/Menlhk/Setjen/Kum.1/7/2016).
Selain menimbulkan bau yang mengganggu indra penciuman manusia, kandungan bahan-bahan kimia organik, anorganik, dan sejumlahbakteri patogen yang dihasilkannya bisa mengurangi kualitas tanah dan air di sekitar timbunan sampah.
Selain itu, tumpukan sampah organik jangka panjang juga menghasilkan gas metana, apabila disimpan dalam kondisi tertutup, kekurangan sinar matahari, dan oksigen, dapatmemunculkan ledakan, seperti tragedi ledakan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Leuwigajah Cimahi, Bandung pada tanggal 21 Februari 2005.
Akibatnya, puluhan rumah yang berjarak kurang lebih 1 km dari TPA, yaitu kampung Cilimusdan kampung Pojok, tertimbun longsoran sampah dan mengakibatkan 157 warga tewas tertimbun longsoran sampah. Itoc Tochija dalam bukunya “Tragedi Leuwigajah” menyebutkan, selama 15 hari masa evakuasi, hanya ditemukan157 jasad warga dan menyisakan ratusan lainnya dalam status hilang.
Peristiwa TPA Leuwigajah pun menjadi insiden terparah kedua di dunia setelah kejadian serupa di TPA Payatas, Quezon City, Filipina, pada 10 Juli 2000, yang menewaskan lebih dari200 orang (Tempo.co, 2023).
Sampah telah menjadi permasalahan nasional. Hal ini mendorong pemerintah di bawah naungan KLHK mengeluarkanaturan resmi yang tertuang di dalam UU Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah. Aturan ini mewajibkan setiap pemerintah daerah hingga di tingkat kabupaten agar mampumenerapkan metode dan teknik pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan.
Selain mengolola sampah di lapangan, pemerintah ditingkat daerah yang diwakili oleh Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK), bisa melibatkan institusi pendidikan, seperti sekolah.
Sekolah sebagai wadah bagi generasi penerusbangsa untuk membangun kerangka berpikirnya, sudah seharusnya turut mengambil peran penting dalam menjaga dan melestarikan lingkungan. Harapannya, permasalahan sampahdapat teratasi secara bertahap ketika para generasi penerus bangsa tertanam rasa cinta terhadap lingkungannya.
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan oleh sekolah untuk membangun kerangka berpikir generasi bangsa dalam mencintai lingkungan, yaitu:
Mengembangkan Kurikulum Berwawasan Lingkungan.
Salah satu fungsi dari sekolah adalah memberikan ilmu beserta pemahaman kepada peserta didik agar mengubah tingkah lakunya menjadi lebih baik, sehingga mampu memberikan peran positif di lingkungan sekitarnya.
Dalam hal ini, peran guru sebagai garda terdepan sangat dibutuhkan. Di dalam kegiatan pembelajaran di kelas, guru bisa memanfaatkan barang-barang bekas seperti tutup botol minuman, kotak/kardus, kertas bekas, sedotan plastik bekas, serta barang bekas yang aman untuk digunakan lainnyamenjadi media belajar.
Sebagai contoh, peserta didik bersamaguru dapat mendesain sebuah jam dinding dari bahan-bahanbekas seperti yang telah disebutkan di atas untuk mengenalkan mereka fungsi dari sebuah jam dinding dan memberikan mereka pula pemahaman tentang “Waktu 24 Jam”.
Selain mendapatkan ilmu dalam kegiatan pembelajaran tersebut, peserta didik juga terbiasa untuk mengubah barang-barang bekas yang terdapat di lingkungan sekitarnya menjadi sarana belajar bagi mereka.
Pembelajaran ini sebagaipenanaman konsep tentang pemanfaatan kembali barang-barang yang sudah tidak digunakan dalam rangka pengenalandan penanaman konsep 3 R (Reduce, Reuse, dan Recycle).
Reduce berarti mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan sampah, Reuse berarti menggunakan kembali sampah yang masih dapat digunakan untuk fungsi yang samaatau fungsi lainnya, dan Recycle berarti mengolah kembali(daur ulang) sampah menjadi barang atau produk baru yang bermanfaat.
Sekolah juga bisa mengundang walisiswa, perangkat desa, penggiat lingkungan disekitar sekolah, atau instansipemerintah untuk menjadi “Guru Tamu (Guest Teacher)” yang bercerita tentang peran dan kegiatan mereka dalam menjaga lingkungan hidup.
Harapannya, kisah nyata dari perjalanan hidup atau perjuangan mereka dapat menjadi inspirasi serta energi yang positif untuk mendorong peserta didik ikut mengambil peran yang sama dalam menjaga dan melestarikan lingkungan hidup.
Selain guest teacher, kegiatan Kunjungan Sekolah (School Visit) bisa menjadi program menarik untuk memperkaya wawasan peserta didik. Mereka dapat melihat dan merasakanserta bersentuhan secara langsung dengan alam, tempat di mana mereka belajar. Hal ini juga menyadarkan siswa bahwa kegiatan belajar tidak hanya dibatasi oleh dinding-dinding ruang kelas saja.
Seperti yang pernah dilakukan oleh Sekolah Sukma Bangsa Bireuen saat melakukan kegiatan School Visit ke Paya Nie di Kutablang, Bireuen untuk melihat lahan gambut yang kaya dengan berbagai keanekaragaman hayati dan rumah bagi puluhan jenis burung air.
Berkolaborasi
Kolaborasi bukanlah kata asing di lingkungan sekolah. “Butuh orang sekampung untuk mendidik satu orang anak”, pepatah ini berpesan bahwa dalam membangun generasi penerus bangsa butuh semangat, niat, dan perilaku yang positif dari lingkungan disekitarnya. Sekolah sebagai tempat kedua setelah keluarga, tentu memiliki peran yang penting terhadap pembentukan pola pikir mereka agar menjadi generasi yang peduli antar sesama dan peduli pula terhadap kelestarian lingkungan hidup di sekitarnya. Menurut UU Nomor 23 Tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
Kekhawatiran terhadap perilaku generasi bangsa yang mulai abai terhadap kepedulian lingkungan hidup saat ini, mendorong Sekolah Sukma Bangsa Bireuen menjalin kerja sama dengan pihak DLHK kabupaten Bireuen.
Kegiatan kerja sama ini bertujuan untuk mendorong peran serta aktif peserta didik di sekolah untuk sadar dan peduli terhadap lingkungan yang sehat. Serta mengusahakan terwujudnya mutu pendidikan sekolah yang berbasis kelestarian lingkungan hidup.
Sebelum kerja sama ini terjalin, Sekolah Sukma Bangsa Bireuen telah berkolaborasi dengan pihak Aceh Wetland Foundation (AWF) yang berupaya mengenalkan kelestarian alam Paya nie kepada peserta didik. Semua rangkaian kolaborasi ini terjalin berkat niat dan usaha bersama demi membangun generasi bangsa yang mencintai lingkungan hidup.
Membentuk tim Pengelolaan Lingkungan
Sekolah dapat membentuk tim yang bertanggungjawab untuk memprovokasi warga sekolah agar bersama-sama menjaga lingkungan sekolah dan lingkungan di sekitarnya. Tim ini melibatkan beberapa komponen warga sekolah seperti guru, siswa, dan tenaga kependidikan. Adapun kegiatan yang dapat dilakukan di antaranya adalah:
a. Melakukan Kegiatan Sosialisasi.
Sekolah bisa memberikan alokasi waktu khusus untuk tim pengelola lingkungan melakukan kegiatan sosialisasi rutin agar setiap warga sekolah tetap terjaga dalam menjaga lingkungan, seperti imbauan tentang perilaku hemat energi listrik dan air, menjaga kebersihan, dan keindahan lingkungan sekolah. Kegiatan lain yang bisa dilakukan dengan mengadakan kegiatan lomba desain poster yang bertemakan lingkungan dalam kegiatan perayaan atau peringatan hari khusus nasional.
b. Mengurangi Penggunaan Sampah Plastik.
Mengurangi sampah plastik dapat dilakukan melalui pengurangan penjualan makanan atau minuman yang menggunakan kemasan plastik di kantin sekolah. Selain itu, sekolah juga dapat mengeluarkan peraturan khusus tentang larangan penggunaan kantong plastik sekali pakaidi lingkungan sekolah.
c. Mewajibkan membawa botol air minum (tumbler).
Agar program membawa tumbler berjalan dengan baik, maka sekolah harus menyediakan water station di beberapa titik di lingkungan sekolah sebagai pusatcadangan air minum gratis.
d. Menyediakan Tempat Sampah.
Sekolah harus menyediakan tempat sampah organik dan Non-organik di setiap kelas dengan nuansa warna yang berbeda. Hal ini dilakukan agar siswa terbiasa melakukan pemilihan sampah sesuai dengan jenisnya.
Lingkungan yang bersih merupakan dambaan hidup bagi setiap orang. Penumbuhan pemahaman untuk menjaga dan mengelolanya butuh proses yang tidak instan. Semua kalangan bisa mengambil peran untuk melakukannya. Termasuk sekolah, yang mampu memberikan arah kepada setiap generasi sejak dini untuk terus peduli terhadap lingkungan. []
*) Penulis merupakan Guru Sekolah Sukma Bangsa Bireuen.