Oleh: Rika Julianti, S.E
Memulai aktivitas pagi sebagai seorang guru sangatlah menyenangkan. Sama seperti biasanya, hari ini pukul 7:20 pagi, saya sudah bersiap-siap untuk memulai kegiatan di kelas bersama para siswa.
Untuk menuju kelas, saya membutuhkan waktu tempuh sekitar 5-7 menit. Menyusuri koridor bersama murid dan guru lainnya sembari bertegur sapa sudah menjadi kebiasaan kami.
Pagi ini menjadi pagi yang sangat berkesan bagi saya, karena saya mendengar percakapan beberapa siswa tentang gurunya.
“Hari ini kita belajar dengan Ibu Peri Khan? Aku suka sama ibu itu karena baik,” ucap salah satu siswa. Siswa lain menambahkan, “Aku juga senang sama ibu itu karena baik sama kita dan tidak pilih kasih. Selain itu, cara ibu itu menyampaikan materi juga mudah kita pahami. Pokoknya ibu itu, best of the best lah,” sambung yang lain. “Ibu Peri” adalah satu dari sekian cap yang disematkan para siswa kepada gurunya. Kita juga sering mendengar label guru killer, guru pelit dan “stempel-stempel” lain yang dialamatkan untuk para guru, tentu sesuai dengan karakteristik utama dari guru tersebut, atau dalam bahasa lain, sesuai dengan personal branding masing-masing.
Personal branding Guru
Istilah branding mungkin sudah sering kita dengar pada mata pelajaran ekonomi dan atau wirausaha. Sebuah produk yang sukses di pasaran biasanya memiliki ciri seperti harga jual yang layak dan terjangkau dan juga merek yang kuat.
Produk memiliki merek kuat adalah produk dengan kualitas yang baik, selanjutnya dibandrol dengan harga yang cocok pula, jika perlu bahkan beberapa merek berani menjualnya di bawah harga pasaran.
Produk branding ini bukan hanya bisa diterapkan pada sektor bisnis dan usaha, tetapi dapat juga bisa diterapkan dalam dunia pendidikan yang biasa disebut dengan personal branding.
Personal branding yang diupayakan seorang guru terhadap dirinya sendiri sama dengan produk branding pada sebuah produk. Untuk menciptakan dan apalagi mempertahankan produk branding dari suatu produk tentu membutuhkan biaya dan usaha yang tidak sedikit.
Begitu pula dengan guru yang ingin menciptakan dan mempertahankan personal brandingnya, tentu ia melakukan segala daya dan upaya agar personal branding yang melekat padanya tetap baik atau bila perlu terus meningkat.
Di lingkungan sekolah, ketika belajar atau sedang istirahat sambil makan di kantin, para peserta didik kerap bercerita tentang sosok guru mereka.
Di sinilah awal personal branding guru terbentuk berupa citra diri atau merek dari guru tersebut. Jika kualitas guru bagus, dengan senang hati murid akan melabeli guru bersangkutan dengan label yang baik, demikian sebaliknya.
Personal branding yang dimiliki seorang guru membawa pengaruh besar terhadap keberhasilan guru tersebut dan anak didiknya, terutama dalam pembelajaran. Karena itu, para guru dituntut untuk memiliki personal branding yang baik dulu sebagai prasyarat suksesnya kegiatan belajar mengajar di kelas.
Pembelajaran adalah aktivitas interaksi atau hubungan timbal balik yang terjadi antara siswa dan lingkungan sekitarnya dalam suasana edukatif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Hubungan timbal balik tersebut merupakan syarat terjadinya proses pembelajaran yang mengandung kegiatan transfer pengetahuan dan nilai.
Transfer pengetahuan dapat diperoleh dari berbagai media, seperti buku pelajaran, majalah, jurnal, internet dan sumber-sumber lain yang dapat menambahkan pengetahuan.
Sementara transfer nilai adalah kegiatan yang hanya diperoleh dari seseorang yang menanamkan sikap dan nilai dalam sebuah materi atau pembelajaran.
Di dunia pendidikan, proses transfer nilai melibatkan guru dan siswa dalam penanaman sikap, nilai, dan aspek-aspek psikologis yang tidak dapat digantikan oleh media apa pun. Dengan kata lain, guru adalah fasilitator utama dalam proses pembelajaran peserta didik terkait pengetahuan dan nilai.
Penanaman nilai-nilai tersebut akan sangat efektif apabila dibarengi dengan teladan yang baik dari seorang guru yang notabene sebagai role model untuk peserta didiknya. Dengan kata lain, citra guru harus terlihat baik jika tidak ingin dikatakan sempurna dan tidak melakukan kesalahan yang fatal walaupun guru adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan.
Oleh karena itu, sudah sepatutnya guru selalu berusaha menghindari perbuatan yang tidak baik dengan menerapkan beberapa metode personal branding, sehingga citra seorang guru terjaga dengan baik di depan peserta didiknya.
Bagaimana cara membangun personal branding pada guru? Seorang guru harus mengenali diri sendiri sebelum membentuk personal branding, seperti kemampuan yang dimiliki, bagaimana cara bersikap dan sebagainya. Hal tersebut bertujuan sebagai diagnostic test sebelum nantinya berhadapan dengan peserta didiknya.
Farco Siswiyanto Raharjo (2019) menyatakan personal branding merupakan cara seseorang untuk mengambil kendali penilaian orang lain atas diri individu tersebut. Dengan kata lain, personal branding dapat digunakan guru sebagai media untuk mempengaruhi persepsi peserta didik terhadap individunya.
Hal ini juga dapat mengungkap keunikan, identitas, dan kemampuan seorang guru sehingga tujuan untuk menampilkan kesan baik terhadap guru sebelum memulai interaksi, kolaborasi dan kerjasama dengan para siswa sudah mulai terbangun.
Komunikasi dan personal branding guru
Banyak elemen yang dapat memunculkan dan bahkan mempertajam personal branding seseorang. Yang paling penting diantaranya adalah cara bersikap dan kemampuan komunikasi.
Dalam dunia Pendidikan, hal tersebut menjadi poin penting yang patut dijaga seorang guru sebagai role model untuk peserta didik. Gaya komunikasi yang baik, cair dan aktif bisa membantu menjadikan seorang guru menjadi sosok yang peduli.
Guru yang komunikatif dan peduli adalah kunci meraih cinta para siswa sehingga para guru akan diundang untuk masuk ke dunia mereka.
Guru yang sudah menjadi native di dunia para siswa nantinya akan mendapatkan banyak kemewahan dalam berinteraksi dan berkomunikasi dengan mereka. Selanjutnya guru tersebut bisa menarik para siswa ke dalam suasana pembelajaran yang bermakna dan efektif.
Kadang kita jumpai kondisi dimana siswa mengeluh karena merasa tidak ada yang peduli dengan permasalahan yang mereka hadapi. Orang tua kurang perhatian minim komunikasi karena sibuk kerja dan bahkan kerap muncul tuntutan agar nilai anak harus bagus.
Kondisi kurang ideal ini menjadi beban tersendiri untuk si anak. Anak biasanya hanya akan terbuka menceritakan masalahnya kepada guru yang dapat dipercaya, peduli dan komunikatif. Guru tersebut akan berusaha membantu si anak untuk meringankan bebannya dengan ragam solusi yang bisa dilakukan anak.
Hal tersebut dapat menjadikan personal branding sang guru menjadi sosok yang dibutuhkan oleh peserta didik. Label tersebut juga berguna saat guru menyampaikan materi di kelas. Materi akan mudah dipahami oleh peserta didik jika guru memiliki kemampuan komunikasi yang mumpuni.
Dengan komunikasi yang baik, guru dapat menyediakan lingkungan yang nyaman dan menciptakan hubungan yang erat dengan peserta didik.
Akhirnya, seorang guru yang mempunyai kesan dan citra yang baik di mata murid adalah guru yang peduli dan bisa berkomunikasi secara harmonis.
Dengan adanya komunikasi yang baik antara guru dan murid maka guru bisa mengupgrade personal branding dirinya sekaligus membantu membuat pembelajaran yang menyenangkan.
Selain itu, komunikasi yang baik dan kepedulian juga diharapkan mencegah munculnya label guru killer, guru pelit dan sematan-sematan lainnya yang tidak baik.
Mari kita mulai menciptakan dan selanjutnya mempertahankan personal branding yang baik agar para siswa juga dapat mengembangkan diri secara maksimal dengan proses pembelajaran yang efektif. Wallahu a’lam.[]
)* Penulis adalah Wakil Kepala Sekolah Bidang Kurikulum dan Guru Ekonomi di SMA Sukma Bangsa Bireuen.