Home Opini Guru Membaca yang Bermakna

Membaca yang Bermakna

by Harif Fadhillah

Oleh: Wirdatul Ahya

Anak-anak sekolah dasar pada umumnya sudah bisa membaca. Namun, kebanyakan dari mereka tidak memahami isi dari bacaan yang dibaca. Fenomena ini mungkin sering kita jumpai, tidak hanya di sekolah pelosok, bahkan di sekolah perkotaan sekalipun. Mengapa hal ini bisa terjadi? Ini menjadi tanda tanya besar bagi kita para pendidik.

Sebagai guru yang mengajar di kelas satu, saya pernah mendapatkan pertanyaan dari wali siswa “Berapa lama target anak-anak bisa membaca Bu?” Saat itu spontan saya menjawab, “6 bulan”, tanpa mempertimbangkan membaca seperti apa yang jadi target saya ke depan. Sesuai dengan target saat itu, pada akhirnya anak didik saya memang mampu merangkai huruf menjadi kata dan kata menjadi kalimat.

Namun, yang disayangkan kemampuan membaca ini tidak diiringi dengan kemampuan memahami makna kata yang dibaca sehingga pada akhirnya hanya sampai pada tahap membunyikan kata atau kalimat. Vidia (2020), menyebutkan bahwa dalam metode montessori, anak yang dikategorikan telah mampu membaca adalah anak yang mampu mengorelasikan rangkaian huruf yang dibaca dengan maknanya. Jika tidak, ia baru sampai pada tahap “membunyikan huruf”.

Hal serupa juga terjadi di kelas tinggi. Ketika kegiatan reading day di sekolah Sukma Bangsa Pidie, anak-anak ditugaskan membawa sebuah buku cerita yang sudah pernah mereka baca, kemudian mereka diminta untuk menceritakan kembali pada pertemuan selanjutnya. Namun, sayangnya masih ada anak-anak yang hanya melisankan kembali kalimat yang telah mereka hafal tanpa memahami isi dari cerita itu sendiri. Saya melihat ada kecacatan makna membaca dalam kasus ini. Hal ini menjadi PR besar bagi orang tua serta para pendidik,  khususnya di jenjang pendidikan sekolah dasar.

Jembatan yang hilang

Di sekolah taman kanak-kanak siswa tidak dituntut untuk bisa membaca, anak-anak hanya fokus pada tahapan pengenalan membaca melalui bermain. Di usia TK ini, anak-anak hanya pada persiapan pra-menulis dan pra-membaca. Sementara itu, jika kita amati buku teks di kelas satu sekolah dasar sudah penuh dengan tulisan atau kalimat. Hal ini tentu saja membutuhkan kemampuan membaca dan menulis. Jika anak tidak mampu membaca, bagaimana mereka dapat memahami isi dari buku tersebut?

Di sini, saya melihat ada kesenjangan antara apa yang terjadi di TK dan kebutuhan di SD. Ada gap yang besar antara harapan dan kenyataan yang terjadi pada anak didik. Jika anak-anak diharapkan sudah bisa membaca dan menulis, sedangkan kenyataannya di usia prasekolah anak tidak dituntut belajar membaca dan menulis. Maka, dimana dan kapan anak mempelajari keterampilan membaca? Bukankah seperti ada jembatan yang hilang di sini?

Kesalahan dalam membaca.
Menurut Vidia (2020), ada dua kesalahan yang menjadi penyebab hilangnya esensi dari membaca. Pertama adalah kurangnya perhatian kita pada kegiatan-kegiatan pra-membaca. Tahapan ini penting namun sering kali terlangkahi dan terabaikan dengan alasan orang tua yang sibuk. Padahal aktivitas yang dilakukan pada tahapan ini sangat sederhana seperti mengajak anak berbicara, bernyanyi, mendongeng, membaca cerita, dan bermain peran. Kegiatan ini dapat membantu anak memperkaya kosakata dan memahami makna-makna kata itu sendiri.

Penyebab kedua adalah keinginan orang tua ataupun guru agar anak segera dapat membaca. Keinginan ini membuat kita melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu. Salah satu contohnya sejak TK sudah ada orang tua yang memberikan les membaca untuk anak dengan harapan anak sudah bisa membaca begitu masuk sekolah dasar.

Guru juga akan menggegas siswanya yang belum mampu membaca dengan berbagai metode yang pada akhirnya hanya membuat anak hanya mampu membunyikan kata. Di satu sisi, orang tua dan guru melupakan tentang membaca yang bermakna. Mereka bangga ketika anak usia dini sudah lancar membaca tanpa mengecek pemahaman anak terhadap bacaan.

Memperbaiki yang salah

Menurut Montessori terdapat dua tahap dalam pengajaran membaca. Tahap yang pertama adalah tahap pra-membaca dan yang kedua adalah tahapan teknis membaca. Biasanya kita terlalu fokus pada tahapan kedua sehingga sering kali tahapan pertama ini terabaikan. Padahal, kunci utama kesuksesan membaca adalah pada tahap pertama. Banyak guru dan orang tua yang memulai kegiatan pra-membaca ketika anak usia TK. Namun, sebenarnya kegiatan membaca ini adalah proses yang dimulai jauh dari sebelum itu.

Menurut Vidia (2020), stimulasi membaca dapat dilakukan jauh sebelum anak usia TK dengan mematangkan aspek sensori dan motorik anak serta mengakrabkan anak dengan kegiatan literasi. Kegiatan pra-membaca dapat dilakukan dengan mengajak anak berbincang atau membacakan cerita. Hal ini jelas membutuhkan kontribusi nyata orang tua, pengasuh, dan guru di PAUD atau kelompok belajar.

Sebenarnya, orang tua tidak akan bingung jika sudah dibekali ilmu yang mumpuni dalam menyiapkan anaknya agar mampu membaca dengan bermakna. Mereka yang berilmu, pasti tahu betapa pentingnya menyapa bayinya sejak di dalam kandungan, mengajak bercerita, bahkan bersenandung bersama hingga anak menginjak usia sekolah.

Orang tua dapat mendampingi anak agar memiliki kemampuan membaca yang bermakna dengan menyiapkan dirinya untuk melakukan kegiatan seperti bernyanyi, mendongeng, atau membacakan cerita kemudian menjelaskan makna kosakata yang tidak dipahami anak. Hal serupa juga harus dilakukan guru di sekolah, agar membaca tidak hanya sekedar melafalkan kata atau kalimat, namun juga diiringi dengan penjelasan terhadap kosakata atau pemaknaan isi bacaan yang tidak dipahami anak. Ini akan menjadi bekal untuk proses membaca menyenangkan dan bermakna seperti yang diharapkan.

Ketika anak sudah mampu membaca dan memahami makna. Maka, anak akan mencintai kegiatan membaca karena memahami yang dibaca. Kecintaan akan membaca nantinya juga  dapat membantu anak meningkatkan kemampuan akademisnya.

Kini, bukan seberapa cepat anak bisa membaca yang perlu kita targetkan. Namun, sedalam apa anak mencintai kegiatan membaca. Seperti yang dikemukakan oleh Hernowo dalam bukunya Quantum Reading (2005), menjadi pembaca yang baik perlu tahu apa manfaat membaca baginya. Seharusnya, orang tua bisa menjadi pematik kemanfaatan buku bagi setiap anak. Agar kelak, mereka selalu merasa butuh membaca.

Pada momentum hari aksara ini, saya berharap kita tidak hanya fokus pada angka buta huruf yang semakin menurun. Namun, juga harus fokus pada bagaimana anak Indonesia mencintai dan mampu membaca lebih bermakna. Salam literasi!.[]

)* Penulis adalah guru Sekolah Sukma Bangsa Pidie

 

You may also like

Leave a Comment