Oleh: Chandra Nurmansyah, S.Si.
Setiap tahun, kegiatan peringatan Hari Bumi atau Hari Lingkungan Hidup dan hal serupa lainnya sering menjadi perhatian beberapa kalangan pecinta lingkungan, lembaga peduli lingkungan, dan instansi pemerintahan terkait.
Kemeriahannya akan semakin bergaung dengan pemberitaan yang tersebar di dunia maya. Pada umumnya perayaan dihiasi dengan kegiatan menanam pohon di sekitar halaman sekolah, pinggir jalan umum, area pantai, dan area perkantoran.
Beruntung bila pohon yang ditanam hidup dan terawat dengan baik. Namun, tidak sedikit juga yang terbengkalai dan tak terurus. Ibarat kata, hidup segan mati pun tak mau.
Berbicara tentang lingkungan hijau, sekolah salah satu target untuk melaksanakan berbagai program kegiatan tersebut. Program andalan untuk menciptakan sekolah hijau adalah menanam pohon di sekitar kawasan sekolah.
Namun, jika kita coba terawang lebih jauh, kegiatan untuk mewujudkan sekolah hijau tidak hanya sebatas itu saja, tetapi lebih pada upaya untuk menciptakan sikap rasa cinta terhadap lingkungan kepada seluruh warga sekolah. Warga sekolah adalah bagian atau individu-individu yang berada di dalam lingkungan sekolah atau di luar lingkungan sekolah (Syaiful Sagala, 2007).
Susilo (2001) mengatakan bahwa Sekolah hijau merupakan sekolah yang memiliki kebijakan positif dalam pendidikan lingkungan hidup, artinya dalam segala aspek kegiatannya mempertimbangkan aspek lingkungan.
Harapannya, kebijakan yang positif tersebut yang terintegrasi dalam kegiatan atau program sekolah dapat menjadi budaya dan kebiasaan yang dilakukan secara terus menerus di lingkungan masyarakat, tempat warga sekolah menetap.
Secara tidak langsung, warga sekolah dapat menjadi agen perubahan di tengah masyarakat dalam mengelola lingkungan dengan baik di dalam aktifitas kehidupan sehari-hari mereka.
Jadi, terwujudnya sikap cinta terhadap lingkungan hidup, tentu tidak terlepas dari adanya peran aktif dari seluruh warga sekolah, yaitu siswa, guru, kepala sekolah, dan seluruh pegawai yang beraktivitas di lingkungan sekolah, secara bersama-sama menjaga dan merawatnya.
Ditambah lagi dengan dukungan dari beberapa kalangan, baik instansi pemerintah terkait, para wali siswa/komite sekolah, dunia industri, dan para pemerhati pendidikan, tentu akan mempercepat proses pendidikan cinta terhadap lingkungan menjadi lebih baik.
Penerapan gerakan sekolah hijau sebaiknya dilakukan sejak anak mengenal lingkungan sekolah. Hal ini senada dengan Sumarmi (2008) bahwa dalam penanaman pondasi lingkungan sejak dini menjadi solusi utama yang harus dilakukan agar generasi muda memiliki pemahaman tentang lingkungan hidup dengan baik dan benar. Pendidikan lingkungan hidup diharapkan mampu menjembatani dan mendidik anak agar bersikap baik, berperilaku bijaksana, dan arif terhadap lingkungannya.
Ada tiga langkah yang harus dilakukan untuk mewujudkan sekolah hijau, yaitu pengembangan kurikulum berwawasan lingkungan, pengembangan sistem pendukung yang ramah lingkungan, dan pengembangan manajemen sekolah berwawasan lingkungan. Adapun Proses untuk menerapkan ketiga langkah pengembangan tersebut, dibutuhkan beberapa tahapan.
Pertama, sosialisasi. Pengisian angket bisa menjadi alternatif untuk memulai sosialisasi kepada warga sekolah. Hal ini dilakukan untuk mengetahui data awal pemahaman warga sekolah terhadap permasalahan lingkungan terkini dan konsep sekolah hijau. Selanjutnya, pemutaran video atau film tentang perilaku-perilaku yang berdampak negatif pada lingkungan untuk masa mendatang, juga dapat membantu pelaksanaan sosialisasi agar menjadi lebih menarik.
Kedua, implementasi. Setelah kegiatan sosialisasi dilakukan, maka tahapan selanjutnya adalah memasukkan wawasan rasa cinta terhadap lingkungan ke dalam kegiatan proses pembelajaran di sekolah. Adapun bentuk kegiatan yang dapat dilakukan adalah mengintegrasikan nilai-nilai cinta lingkungan ke dalam Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) di kelas. Hal ini dilakukan agar setiap guru mata pelajaran dapat memasukkan kegiatan-kegiatan pembelajaran yang ramah terhadap lingkungan, baik dari segi wawasan terhadap lingkungan maupun penggunaan media belajar, seperti pemanfaatan barang bekas yang berbahan plastik dalam kegiatan pembelajaran prakarya. Pembelajaran ini sebagai penanaman konsep tentang pemanfaatan kembali barang-barang yang sudah tidak digunakan.
Sementara dari aspek manajemen yang ramah lingkungan, sekolah dapat melakukan pembentukan sebuah gerakan Sekolah Hijau atau Green School Project (GSP) yang melibatkan beberapa komponen warga sekolah di dalamnya. Tim ini akan melakukan kegiatan yang memprovokasi laju penerapan sekolah hijau di sekolah. Kegiatan yang dapat dilakukan oleh tim GSP berupa himbauan atau ajakan tentang perilaku hemat energi listrik dan air, menjaga kebersihan, dan keindahan lingkungan sekolah. Mengurangi sampah plastik melalui pengurangan penjualan makanan atau minuman yang menggunakan kemasan plastik di kantin sekolah. Mewajibkan warga sekolah membawa botol air minum sendiri juga dapat menjadi solusi untuk mewujudkan sekolah hijau. Selanjutnya, kantin sekolah juga bisa menjadi pendukung untuk pelaksanaan sekolah yang ramah lingkungan.
Ketiga, evaluasi. Ada beberapa persyaratan agar pendidikan lingkungan hidup berhasil, yaitu (1) pendidikan lingkungan sebagai prinsip belajar. Maksudnya, pendidikan lingkungan dalam arti yang menyeluruh tidak terbatas pada pembelajaran menurut jadwal, melainkan menjadi prinsip pembelajaran yang menyeluruh yang mempunyai pengaruh pada kegiatan sekolah; (2) Pelajaran yang berorientasi pada proyek. Pelajaran dengan proyek menggambarkan suatu bentuk yang tinggi dari pendidikan, itu ditandai oleh orientasi terhadap situasi, integrasi bidang, akses yang menyeluruh, belajar dalam bentuk tindakan, kegiatan yang mandiri/individual, bentuk-bentuk kerja sosial yang beragam, orientasi pada proses dan produk; (3) Lapangan ekologis tempat belajar. Pada praktik pelaksanaan pendidikan lingkungan, materi-materi yang digunakan di sekolah tidak boleh diabaikan.
Hal itu berkaitan dengan pengelolaan kegiatan lingkungan sekolah yang cocok, misalnya mengurangi sampah, penggunaan alat pembersih ramah lingkungan, makanan dan minuman yang ekologis, halaman sekolah yang mencerminkan keadaan lingkungan yang baik, manajemen sumberdaya air, hemat energi dan sebagainya (Turcotte, 2003).
Upaya untuk menuju ke poin tersebut butuh semangat dan perjuangan yang tidak mudah, sehingga tahapan evaluasi sangat diperlukan untuk mengukur seberapa jauh program penanaman sikap cinta terhadap lingkungan pada seluruh warga sekolah berjalan.
Peran manajemen sekolah dan tim pengembang program dapat melaksanakan kegiatan duduk bersama secara berkala untuk membahas dan mengevaluasi hal-hal yang dianggap perlu untuk ditambah dan mana yang harus dievaluasi.
Oleh karena itu, Pengenalan dan penerapan sikap cinta terhadap lingkungan tidak cukup sebatas pada momen-momen perayaan itu saja, namun lebih kepada penanaman sikap yang berkelanjutan sehingga menjadi sebuah nilai yang membudaya pada jiwa setiap orang.
Sekolah sebagai lembaga yang berperan penting terhadap kemajuan pendidikan generasi bangsa, merasa perlu mengambil tugas tersebut. Sekolah bisa mengenalkan sikap cinta terhadap lingkungan mulai sejak dini kepada para siswa dan secara berangsur-angsur terus menyentuh pada jenjang tingkatan pendidikan yang lebih tinggi.
Harapannya, proses yang panjang ini akan mengurangi dampak yang terjadi akibat rusaknya lingkungan pertiwi di tahun-tahun berikutnya. Semoga.
Bertepatan dengan adanya peringatan Hari Bumi sedunia yang jatuh pada tanggal 22 April 2022, mari jadikan momentum tersebut menjadi salah satu sarana untuk meningkatkan kesadaran tentang cinta terhadap lingkungan. Upaya dan jalan untuk menuju ke sana memang membutuhkan proses yang tidak mudah. Setiap diri kita bisa memulainya dengan hal yang paling mudah menurut kadar kemampuan kita masing-masing. Wallahu a’lam.
*) Kepala SMP Sukma Bangsa Bireuen.
Artikel ini telah tayang di acehtrend dengan judul: Gerakan Menuju Sekolah Hijau.
https://www.acehtrend.com/news/gerakan-menuju-sekolah-hijau/index.html